Inteligensi
berasal dari bahasa Latin intelligentia, yang berarti kekuatan akal
manusia. Sudah banyak sekali definisi yang dibuat para ahli mengenai
inteligensi. Orang awam seringkali mengartikan ini sebagai kecerdasan,
kepintaran, ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi.
Ahli-ahli psikologi memusatkan perhatian pada masalah
perilaku inteligensi itu sendiri daripada membuat batasan apa yang
dimaksud dengan inteligensi. Ini karena ada anggapan bahwa inteligensi
merupakan status mental yang tidak memerlukan definisi, sedangkan
perilaku inteligensi lebih konkrit batasan dan ciri-cirinya sehingga
lebih bermanfaat untuk dipelajari (Azwar, 2004). Dengan
mengidentifikasi ciri-ciri dan indikator-indikator perilaku inteligensi
maka dengan sendirinya definisi inteligensi akan terkandung di dalamnya.
Tes inteligensi telah dibuat sejak sembilan dekade
lalu, namun sejauh ini belum ada definisi yang dapat diterima secara
universal. Konsep mengenai inteligensi sebagai kemampuan mental memang
banyak disetujui, tetapi apa saja yang termasuk dalam pengertian
kemampuan mental itu sendiri masih diperdebatkan.
Galton, seorang ahli psikologi, menyatakan bahwa ada
dua karakteristik yang hanya dimiliki oleh orang-orang berinteligensi
tinggi yang membedakannya dari orang-orang yang berinteligensi rendah,
yaitu energi/kemampuan untuk bekerja dan kepekaan terhadap stimulus
fisik. Definisi Galton ini merupakan pendekatan berciri psikofisik.
Sementara itu, Alfred Binet (1857 - 1911), tokoh
utama perintis pengukuran inteligensi, bersama Theodore Simon
mendefinisikan inteligensi dengan tiga komponen, yaitu (1) kemampuan
untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, (2) kemampuan untuk
mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, dan
(3) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau autocriticsm.
L.M. Terman, ditahun 1916 mendefinisikan inteligensi
sebagai kemampuan seseorang untuk berfikir abstrak. Goddard, tahun
1946 mendefinisikan inteligensi sebagai tingkat kemampuan pengalaman
seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang langsung dihadapi dan
untuk mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang.
Edward Lee Thorndike (1874 - 1949), tokoh psikologi
fungsionalisme, mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan memberikan
respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta.
Stoddard, di tahun 1941 menyebut inteligensi sebagai
bentuk kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang bercirikan (a)
mengandung kesukaran, (b) kompleks, mengandung bermacam jenis tugas yang
harus dapat diatasi dengan baik, dalam arti mampu menyerap kemampuan
baru dan memadukannya dengan kemampuan yang sudah dimiliki untuk
mengatasi masalah, (c) abstrak, mengandung simbol-simbol yang perlu
analisis dan interpretasi, (d) ekonomis, dapat diselesaikan dengan
proses mental yang efisien, (e) diarahkan pada suatu tujuan, (f)
mempunyai nilai sosial, cara dan hasil pemecahan masalah dapat diterima
oleh nilai dan norma sosial, dan (g) berasal dari sumbernya, yaitu pola
pikir yang membangkitkan kreatifitas untuk menciptakan sesuatu yang baru
dan lain.
David Wechsler, pencipta skala-skala inteligensi yang
sangat populer hingga saat ini, mendefinisikan inteligensi sebagai
kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan
tujuan tertentu, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungan
dengan efektif.
Walters dan Gardner, di tahun 1986 mendefinisikan
inteligensi sebagai kemampuan atau serangkaian kemampuan yang
memungkinkan individu memecahkan masalah.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa inteligensi selalu berkaitan dengan pemecahan masalah.
Sebagaimana karakteristik yang diberikan oleh Sternberg (1981) di
bawah ini:
Komponen | Karakteristik |
Kemampuan memecahkan masalah
|
|
Inteligensi verbal
|
|
Inteligensi praktis
|
|
Jadi, inteligensi bukan hanya menekankan pada aspek
kemampuan kognitif (intelektual) saja, tetapi juga mementingkan aspek
kemampuan sosial yang bersifat nonkognitif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar